Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sedikit perawi (1-3 orang
sahabat), sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
banyak perawi (lebih dari 3 orang sahabat).
Hadits yang perawinya terpercaya dan
sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik
itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus
Shalih.
A. PERKATAAN
PARA ULAMA TENTANG HADITS AHAD
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum
pernah mengetahui bahwa ulama kaum muslimin berselisih pendapat mengenai
diterimanya khabar ahad.” Kata beliau
lagi, “Pada pendapatku, tidak boleh bagi seorang yang berilmu untuk menetapkan
keshahihan berbagai hadits ahad
tetapi kemudian dia menghalalkan dan mengharamkan hanya apa yang bertepatan
dengan akalnya (bukan berdasarkan hadis tersebut).” (Ar-Risalah, m/s. 457-458 – Daar
al-Kitab al-‘Ilmiyah)
Imam Syafi’i menuliskan sebuah pasal yang
penting dalam kitab Ar-Risalah yang beliau beri judul "Dalil-dalil yang menetapkan keautentikan hadits
ahad". Kemudian beliau
menerangkan beberapa dalil yang umum, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah yang
menjelaskan tentang penegasan keautentikan hadits ahad di dalam masalah akidah.
Imam Asy-Syafi'i berkata: "Sesungguhnya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang kepada suatu kaum, dengan membawa kabar. Jika
beliau menginginkan, mungkin
beliau langsung mendatangi kaum itu dan berbicara kepada mereka atau beliau mengutus
kepada mereka beberapa orang, namun
beliau hanya mengutus seorang yang
diketahui kejujurannya." (Ar-Risalah, hal 412)
Ibnu Hajar
al-‘Asqalani berkata: “Telah tersebar luas apa yang
diamalkan oleh para sahabat dan para tabi’in berdasarkan khabar ahad tanpa ada yang mengingkarinya. Maka
ini menunjukkan wujudnya kesepakatan (ijma’) di kalangan mereka untuk
menerimanya.” (Fathul Bari, 13/234)
Abu Bakr
al-Khatib al-Baghdadi berkata: “Kewajiban beramal dengan
hadis ahad adalah pendapat seluruh
tabi’in dan para fuqaha’ setelahnya di seluruh negeri kaum muslimin sehingga
kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang
dari mereka yang menentang atau menyalahinya.” (Al-Kifayah fii Al-‘Ilm Ar-Riwayah, m/s. 31 – Maktabah
Syamilah)
Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Tiada i’tiqad (keimanan) tentang
sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya melainkan telah disebutkan melalui
nash-nash di dalam Kitabullah atau hadis-hadis shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau yang telah ijma’
(disepakati) atasnya oleh ummat ini serta apa yang datang melalui khabar ahad tentang itu semua atau yang seperti
itu maka hal itu wajib diterima dan tidak
boleh diperselisihkan.” (Jaami’ Bayaan Al-‘Ilm wa Fadhlihi, 2/195 – Daar Ibnu
Hazm)
Ibnu Hazm berkata:
“Adalah sah dengan ijma’ umat ini bahawa diterimanya khabar wahid (hadis ahad) yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah (terpercaya)
daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bahawasanya seluruh ahli islam
menerima khabar wahid yang
diriwayatkan oleh para perawi tsiqah daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam. Setiap mereka (asalnya) berpegang pada prinsip ini sebagaimana ahli
sunnah, khawarij, Syi’ah, dan Qadariyah sehinggalah lahirnya para ahli kalam
dari kalangan Mu’tazilah seratus tahun kemudian yang menentang ijma’ dalam
ketetapan ini.” (Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam,
1/108 – Daar al-Hadits)
Imam Bukhari menghimpunkan dalil-dalil
hadits ahad pada bab khusus “Akhbar ul-Aahaad” dalam Kitab Shahih-nya. Himpunan hadis-hadis dalam bab
ini sekaligus memuktamadkan sahnya hadis ahad sebagai hujah baik dalam
persoalan aqidah maupun
hukum.
Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan
membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur
ulama. Dan hadits ahad termasuk
bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada
perselisihan dalam masalah ini.” (Syarah
Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400
telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H)
Imam Asy-Syathibi berkata: “I'tibar dari
hadits-hadits yang dinukil dari Nabi dengan khabar ahad digugurkan berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang masalah
dzan ini (QS. An-Najm: 28), padahal keduanya tidaklah sama. Mereka mengatakan
hadits ahad hanya bersifat dzan, padahal itu semua hanya hasil penakwilan
mereka.” (Al-I'tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Ketahuilah, perbedaan pendapat
yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dzan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang
hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku
perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat
(ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu
(keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah
dikenal kebenarannya.” (Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani
halaman 114 – Maktabah Sahab).
Syaikh Albani berkata: “Sesungguhnya hadits ahad adalah
hujjah dalam permasalahan-permasalahan aqidah,
sebagaimana hujjah dalam masalah
hukum. Sebab kita tahu
secara pasti, bahwa Nabi
saw tidaklah mengutus Abu
Ubaidah kepada penduduk Yaman hanya untuk
mengajarkan masalah-masalah hukum saja,
tetapi masalah aqidah juga
diajarkan kepada mereka. Apabila hadits ahad
tidak membuahkan ilmu syar'i dalam
permasalahan aqidah dan
sebagai hujjah dalam
masalah-masalah aqidah, niscaya pengutusan Abu Ubaidah sendirian kepada
mereka untuk mengajari mereka seperti perbuatan yang sia-sia. Dan hal ini yang
dihindari dari Syari' (Pembuat Syariat). Maka ditetapkan secara yakin, bahwa
hadits ahad dapat menetapkan masalah
aqidah.” (Ash-Shahihah IV/605 dalam Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani)
Ibnul Qayyim berkata: “Umat Islam sepakat
bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah
ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat.
Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan
pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Bila hadits mutawatir dan ahad itu
tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu
tidak perlu.” (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352
karya Ibnul Qayyim)
Ibnul Qayyim berkata saat menolak orang
yang mengingkari hujjah hadits ahad: “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan
sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa
yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada
seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.
Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits
dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada orang lain tentang
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu
diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan
panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat
didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam
dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari
orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau
shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang
adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan
sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan
hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima,
membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Adapun yang menolak hadits ahad itu
ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah
merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari
pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad
memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i
rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan
muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah. (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362)
Para ulama salaf tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir,
hadits tentang akidah atau hukum. Namun
yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Imam Syafi’i ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad
tentang hadits ru’yah (salah satu hadits ahad), beliau berkata: ”Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak
mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun
aku tidak mendengarnya langsung.” (Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421)
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam
Syafi’i rahimahullah: “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah
berkata: “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat
saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ” Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah
menjawab: “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu saya
tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal
saya telah hilang.” (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350)
Imam Syafi’i berkata: “Apabila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” (Riwayat An-Nawawi dalam Al-Majmu’ dan Sya’rani I/57)
Imam Abu Hanifah berkata: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.” (Riwayat Ibnu ‘Abidin di dalam Kitab
Al-Hasyiyah I/63 dan Kitab Rasmul Mufti I/4)
Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits, apabila
sudah shahih semua umat Islam
sepakat wajib untuk mengikutinya.” (Majmu’
Fatawa 19/85)
B. HADITS AHAD TIDAK SAMA DENGAN DZAN (PERSANGKAAN)
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad, mereka beranggapan bahwa
hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang
lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau
kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam
masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.
Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti
persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
“Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa
hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini
bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa
keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya
dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan (An Nihayah 3/162-163).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan
ayat ”Wa maa lahum bihi min ‘ilm”
maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan
mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat
keji. Dan mengenai ayat ”wa inna adz
dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an” maksudnya tidak dapat menempati
(menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda: “Hati-hatilah terhadap
persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan.” (Shahih Muslim 16/118)
Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
“Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah).” (QS. Al An’am: 116)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan
persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika
kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak
boleh dipakai. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang
diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpercaya dan tsabit, maka hadits yang
shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan
yang berlaku, bahwa rawi terpercaya yang
tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.
Imam Asy-Syathibi berkata: “I'tibar dari
hadits-hadits yang dinukil dari Nabi dengan khabar ahad digugurkan berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang masalah dzan ini (QS. An-Najm: 28), padahal
keduanya tidaklah sama. Mereka mengatakan hadits ahad hanya bersifat dzan, padahal itu semua hanya hasil
penakwilan mereka.” (Al-I'tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Ketahuilah, perbedaan pendapat
yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dzan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain.
Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh,
maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat
bahwa hadits ahad itu, apabila telah
disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia
memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai
sesuatu yang telah dikenal kebenarannya.” (Irsyadul-Fuhul oleh Imam
Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab).
C. DALIL DARI AL-QUR’AN
Adapun dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang diterimanya hadits ahad antara lain:
1. Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Ayat ini memerintahkan umat untuk
belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk
seorang atau beberapa orang.
Imam Bukhari berkata: “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)
Maka jika ada dua orang berperang,
orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas (Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231). Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat
diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat
dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan
belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum (Al Aqidah fii Allah halaman 51).
2. Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)
Dalam sebagian qira’ah,
((Fatasyabbatu: Berhati-hatilah)) (Tafsir Asy
Syaukani 5/60). Ini menunjukkan atas
kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpercaya. Dan itu tidak membutuhkan
kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang
diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga
mencapai derajat ilmu (Kewajiban Mengambil Hadits
Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani).
3. Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS.
An Nisa’: 59)
Ibnul Qayyim berkata: “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah ketika beliau masih hidup, dan
kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula
bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab
meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bila hadits mutawatir dan
ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan
kepadanya itu tidak perlu (Mukhtashar
Ash Shawwa’iq 2/352 karya Ibnul Qayyim).”
D. DALIL DARI HADITS NABI
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi tentang diterimanya hadits ahad antara lain:
1. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu
persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam
segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara
Najran (Shahih Bukhari 13/232), Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu
ke negara Yaman (Shahih Bukhari 3/261). Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu
dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah (Shahih Bukhari 13/241) dan
lain-lain.
Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sesunguhnya penduduk Yaman telah
datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata, 'Utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami As-Sunnah dan
Islam. 'Anas bin Malik berkata: 'Maka
beliaupun menggenggam tangan Abu ubaidah dan berkata, Ini adalah kepercayaan umat'." (Diriwayatkan oleh Muslim (7:129) dan Bukhari secara ringkas)
2. Imam Bukhari meriwayatkan dari
Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Ketika manusia ada di Quba’
menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata
sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Al
Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka
mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian
beralih ke Ka’bah (Shahih Bukhari 13/232).” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum
amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
3. Dari Umar bin Khattab
radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak
bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, saya mendatanginya
dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bila
saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.” (Shahih Bukhari 13/232)
Maka inilah peristiwa yang dilakukan
shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan
shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang
dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.
4. Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda: “Allah memancarkan
cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian
disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang
yang mendengar.” (Musnad Ahmad, 6/96, hadits no. 4157 tahqiq Ahmad Syakir)
E.
ADA SESUATU YANG LUCU
Para pengingkar hadits ahad tidak istiqamah dalam menjalankan ajaran mereka. Kalau
mereka mengatakan bahwa hadits ahad
tidak bisa diterima dalam aqidah, maka konsekwensinya, jika mereka menyampaikan materi dalam ta’lim, atau manakala menulis kitab, dan khabarnya
wajib mutawatir maka tidak boleh satu orang. Ini sesuai dangan teori mereka. Akan tetapi, kenyataannya
ustadz-ustadz mereka menyampaikan materi aqidah seorang diri, begitu juga ketika menulis.
Sumber:
1.
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA. 2003. Bantahan Ilmiyah Terhadap Kesesatan Akidah Hizbut
Tahrir. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78
2.
Mahmudz
bin Ahmad Rasyid. 2005. Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani. Pustaka
As-Sunnah. Jakarta Timur.
3.
Imam
Asy-Syathibi. 2006. Al-I’tisham. Pustaka Azzam. Jakarta Selatan.
4. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat. Contoh-Contoh
Hadits Ahad dalam Shahih Bukhari sebagai Hujjah atas Amal, Akidah, dan Akhlak.
Majalah as-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M.
5. Ustadz Nurul Mukhlishin Asyrafuddin, Lc.,
M.Ag. 2007. Ringkasan Akidah dan Manhaj Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah.
6.
Abu Numair Nawawi bin Subandi. 2012. Imam Asy-Syafi’i Menggugat Neo-Muktazilah. http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/2012/02/131-imam-asy-syafii-menggugat-neo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar