Minggu, 24 November 2013

hadits ahad

Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sedikit perawi (1-3 orang sahabat), sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (lebih dari 3 orang sahabat).
Hadits yang perawinya terpercaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih.
A.    PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG HADITS AHAD
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah mengetahui bahwa ulama kaum muslimin berselisih pendapat mengenai diterimanya khabar ahad.” Kata beliau lagi, “Pada pendapatku, tidak boleh bagi seorang yang berilmu untuk menetapkan keshahihan berbagai hadits ahad tetapi kemudian dia menghalalkan dan mengharamkan hanya apa yang bertepatan dengan akalnya (bukan berdasarkan hadis tersebut).” (Ar-Risalah, m/s. 457-458 – Daar al-Kitab al-‘Ilmiyah)
Imam Syafi’i menuliskan sebuah pasal yang penting dalam kitab Ar-Risalah yang beliau beri judul "Dalil-dalil yang menetapkan keautentikan hadits ahad". Kemudian beliau menerangkan beberapa dalil yang umum, baik dari Al Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang penegasan keautentikan hadits ahad di dalam masalah akidah.
Imam Asy-Syafi'i berkata: "Sesungguhnya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang kepada suatu kaum, dengan membawa kabar. Jika beliau menginginkan, mungkin beliau langsung mendatangi kaum itu dan berbicara kepada mereka atau beliau mengutus kepada mereka beberapa orang, namun beliau hanya mengutus seorang yang diketahui kejujurannya." (Ar-Risalah, hal 412)
Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Telah tersebar luas apa yang diamalkan oleh para sahabat dan para tabi’in berdasarkan khabar ahad tanpa ada yang mengingkarinya. Maka ini menunjukkan wujudnya kesepakatan (ijma’) di kalangan mereka untuk menerimanya.” (Fathul Bari, 13/234)
Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi berkata: “Kewajiban beramal dengan hadis ahad adalah pendapat seluruh tabi’in dan para fuqaha’ setelahnya di seluruh negeri kaum muslimin sehingga kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka yang menentang atau menyalahinya.” (Al-Kifayah fii Al-‘Ilm Ar-Riwayah, m/s. 31 – Maktabah Syamilah)
Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Tiada i’tiqad (keimanan) tentang sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya melainkan telah disebutkan melalui nash-nash di dalam Kitabullah atau hadis-hadis shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atau yang telah ijma’ (disepakati) atasnya oleh ummat ini serta apa yang datang melalui khabar ahad tentang itu semua atau yang seperti itu maka hal itu wajib diterima dan tidak boleh diperselisihkan.” (Jaami’ Bayaan Al-‘Ilm wa Fadhlihi, 2/195 – Daar Ibnu Hazm)
Ibnu Hazm berkata: “Adalah sah dengan ijma’ umat ini bahawa diterimanya khabar wahid (hadis ahad) yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah (terpercaya) daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bahawasanya seluruh ahli islam menerima khabar wahid yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Setiap mereka (asalnya) berpegang pada prinsip ini sebagaimana ahli sunnah, khawarij, Syi’ah, dan Qadariyah sehinggalah lahirnya para ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah seratus tahun kemudian yang menentang ijma’ dalam ketetapan ini.” (Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam, 1/108 – Daar al-Hadits)
Imam Bukhari menghimpunkan dalil-dalil hadits ahad pada bab khusus “Akhbar ul-Aahaad dalam Kitab Shahih-nya. Himpunan hadis-hadis dalam bab ini sekaligus memuktamadkan sahnya hadis ahad sebagai hujah baik dalam persoalan aqidah maupun hukum.
Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini.” (Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H)
Imam Asy-Syathibi berkata: I'tibar dari hadits-hadits yang dinukil dari Nabi dengan khabar ahad digugurkan berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang masalah dzan ini (QS. An-Najm: 28), padahal keduanya tidaklah sama. Mereka mengatakan hadits ahad hanya bersifat dzan, padahal itu semua hanya hasil penakwilan mereka. (Al-I'tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dzan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya.” (Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab).
Syaikh Albani berkata: “Sesungguhnya  hadits  ahad  adalah  hujjah  dalam  permasalahan-permasalahan  aqidah,  sebagaimana  hujjah  dalam masalah  hukum. Sebab  kita  tahu  secara  pasti,  bahwa Nabi  saw  tidaklah mengutus Abu Ubaidah  kepada  penduduk Yaman  hanya  untuk mengajarkan masalah-masalah hukum saja,  tetapi masalah aqidah  juga diajarkan kepada mereka. Apabila hadits ahad tidak membuahkan ilmu syar'i dalam  permasalahan  aqidah  dan  sebagai  hujjah  dalam  masalah-masalah aqidah, niscaya pengutusan Abu Ubaidah sendirian kepada mereka untuk mengajari mereka seperti perbuatan yang sia-sia. Dan hal ini yang dihindari dari Syari' (Pembuat Syariat). Maka ditetapkan secara yakin, bahwa hadits ahad dapat menetapkan masalah aqidah.” (Ash-Shahihah IV/605 dalam Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani)
Ibnul Qayyim berkata: “Umat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu.” (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Ibnul Qayyim)
Ibnul Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad: “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.
Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah. (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362)
Para ulama salaf tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau hukum. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Imam Syafi’i ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits ru’yah (salah satu hadits ahad), beliau berkata: ”Hai Ibnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung.” (Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421)
Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah: “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ” Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab: “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang.” (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350)
Imam Syafi’i berkata: “Apabila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” (Riwayat An-Nawawi dalam Al-Majmu’ dan Sya’rani I/57)
Imam Abu Hanifah berkata: “Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.” (Riwayat Ibnu ‘Abidin di dalam Kitab Al-Hasyiyah I/63 dan Kitab Rasmul Mufti I/4)
Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa 19/85)
B.     HADITS AHAD TIDAK SAMA DENGAN DZAN (PERSANGKAAN)
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad, mereka beranggapan bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.
Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm: 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan (An Nihayah 3/162-163).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ”Wa maa lahum bihi min ‘ilm” maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ”wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an” maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan.” (Shahih Muslim 16/118)
Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am: 116)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpercaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpercaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.

Imam Asy-Syathibi berkata: I'tibar dari hadits-hadits yang dinukil dari Nabi dengan khabar ahad digugurkan berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang masalah dzan ini (QS. An-Najm: 28), padahal keduanya tidaklah sama. Mereka mengatakan hadits ahad hanya bersifat dzan, padahal itu semua hanya hasil penakwilan mereka. (Al-I'tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syaukani berkata: ”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dzan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya.” (Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab).
C.    DALIL DARI AL-QUR’AN
Adapun dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang diterimanya hadits ahad antara lain:
1.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.
Imam Bukhari berkata: “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)
Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas (Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231). Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum (Al Aqidah fii Allah halaman 51).
2.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)
Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu: Berhati-hatilah)) (Tafsir Asy Syaukani 5/60). Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpercaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu (Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani).
3.      Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59)
Ibnul Qayyim berkata: “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Ibnul Qayyim).”
D.    DALIL DARI HADITS NABI
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi tentang diterimanya hadits ahad antara lain:
1.      Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara Najran (Shahih Bukhari 13/232), Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman (Shahih Bukhari 3/261). Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah (Shahih Bukhari 13/241) dan lain-lain.
Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sesunguhnya penduduk Yaman telah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata, 'Utuslah kepada kami seorang yang akan mengajarkan kepada kami As-Sunnah dan Islam. 'Anas bin Malik berkata: 'Maka beliaupun menggenggam tangan Abu ubaidah dan berkata, Ini adalah kepercayaan umat'." (Diriwayatkan oleh Muslim (7:129) dan Bukhari secara ringkas)
2.      Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah (Shahih Bukhari 13/232).” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
3.      Dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.” (Shahih Bukhari 13/232)
Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.
4.      Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.” (Musnad Ahmad, 6/96, hadits no. 4157 tahqiq Ahmad Syakir)
E.     ADA SESUATU YANG LUCU
Para pengingkar hadits ahad tidak istiqamah dalam menjalankan ajaran mereka. Kalau mereka mengatakan bahwa hadits ahad tidak bisa diterima dalam aqidah, maka konsekwensinya, jika mereka menyampaikan materi dalam ta’lim, atau manakala menulis kitab, dan khabarnya wajib mutawatir maka tidak boleh satu orang. Ini sesuai dangan teori mereka. Akan tetapi, kenyataannya ustadz-ustadz mereka menyampaikan materi aqidah seorang diri, begitu juga ketika menulis.
Sumber:
1.       Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA.  2003. Bantahan Ilmiyah Terhadap Kesesatan Akidah Hizbut Tahrir. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78
2.       Mahmudz bin Ahmad Rasyid. 2005. Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani. Pustaka As-Sunnah. Jakarta Timur.
3.       Imam Asy-Syathibi. 2006. Al-I’tisham. Pustaka Azzam. Jakarta Selatan.
4.       Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat. Contoh-Contoh Hadits Ahad dalam Shahih Bukhari sebagai Hujjah atas Amal, Akidah, dan Akhlak. Majalah as-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M.
5.       Ustadz Nurul Mukhlishin Asyrafuddin, Lc., M.Ag. 2007. Ringkasan Akidah dan Manhaj Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah.

6.       Abu Numair Nawawi bin Subandi. 2012. Imam Asy-Syafi’i Menggugat Neo-Muktazilah. http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/2012/02/131-imam-asy-syafii-menggugat-neo.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar